Penciptaan sebuah karya seni adalah suatu cara bagi seorang seniman untuk mengekspresikan gagasan seninya. Ekspresi seni ini adalah sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh seorang seniman kepada penikmat seni dengan media perantara karya seni yang diciptakannya. Hal yang sama juga terjadi dalam presentasi sebuah karya perhiasan yang berwujud sebuah gelang perak di bawah ini.

Motif hiasan yang terdapat pada gelang tersebut adalah sebuah motif batik pedalaman yaitu motif kawung. Selain motif batik kawung juga terdapat tekstur titik-titik yang menyerupai taburan pasir yang tidak beraturan. Pada bagian ujung gelang (lihat gambar 3) terdapat hiasan bulu ayam yang merupakan komposisi garis beraturan yang mengalami repetisi. Bagian tengah gelang terdapat sebuah batu yang dikelilingi butiran-butiran perak.

Menurut kajian semiotika, dalam karya gelang perak tersebut terdapat ikon dan simbol. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya (Budiman, 2003 : 29). Ikon ini terdapat pada komposisi garis lengkung yang mengalami repetisi yang sudah disepakati sebagai sebuah motif batik yang disebut kawung. Pemberian nama motif batik itu sendiri juga merupakan sebuah simbol yang diletakkan pada gelang tersebut. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi (Tinarbuko, 2008 : 14) Semua orang Jawa pada umumnya sudah sepakat bahwa motif tersebut dinamakan motif kawung yang mana ini sudah menjadi simbol karena sudah terdapat konvensi di lingkungan orang Jawa.
Elemen hias yang teradapat pada gelang perak juga memiliki beberapa kode, di antaranya adalah kode konotasi dan juga kode narasi. Kode konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu (Budiman, 2003 : 56). Kode narasi adalah kode yang mengandung cerita (Tinarbuko, 2008 : 47) Motif hiasan pada gelang perak yang berwujud komposisi garis lurus repetitif pada motif hiasan bulu ayam mempunyai kode konotasi keteraturan. Hal yang sama juga berlaku pada komposisi garis lengkung repetitif yang membentuk hiasan motif kawung yang juga mempunyai kode konotasi keteraturan. Keteraturan ini juga ditemukan pada hiasan butiran perak yang mengelilingi batu Onyx warna hitam di mana hiasan sentral ini mempunyai kode konotasi keteguhan dan kekuatan yang solid. Secara umum kumpulan hiasan yang terdapat pada karya gelang perak tersebut menjadi sebuah kode narasi yang menceritakan keteraturan (hiasan bulu ayam), ketidak teraturan (taburan butir-butir pasir), keteraturan lagi (hiasan motif batik kawung dan butiran perak yang mengelilingi batu Onyx) di mana hal ini selalu terjadi dalam hidup manusia. Dinamika hidup manusia ini bisa dijalani dengan baik jika manusia mempunyai keteguhan hati dan kekuatan yang solid dalam menjalani hidupnya.
Kajian semiotika di atas ternyata secara garis besar sesuai dengan filosofi Jawa yang dikandung oleh motif batik kawung. Menurut konsep orang Jawa motif batik kawung adalah simbolisasi dari konsep “Pancapat”. Hal ini secara visual didasari oleh bentuk perpotongan yang selalu berjumlah empat dengan bentuk yang sama dan satu bentuk kelima dengan bentuk yang lain yang berada di tengah sebagai pusat atau inti. Pancapat mempunyai penjelasan yang sangat luas karena selalu terdapat dalam kehidupan manusia. Beberapa paparan dalam konsep Pancapat di antaranya:
1. Catur Ubhaya (empat ikrar menjalani kehidupan). Suatu kearifan tradisional bahwa semua manusia yang dititahkan lahir sebagai makhluk hidup, pada umumnya akan sanggup menjalani empat ikrar, yaitu: lahir, birahi, palakrama (pernikahan) dan pralaya (kematian). Bentuk yang kelima di tengah adalah perlambang dari manusia itu sendiri.
2. Catatan kearifan tradisional dalam menghadapi emosi yang bergejolak. Empat macam bunyi (tertulis) pada bandul kalung punakawan dalam pewayangan yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong yang bila digoyang akan berbunyi “neng-ning-nung-nang “
Artinya, bila emosi manusia sedang bergolak, langkah manusia untuk mengatasinya ialah me-neng (diam), karena dalam keadaan diam akan timbul keheningan sehingga pikiranmenjadi we-ning (bening). Bila pikiran telah menjadi bening, maka arah tindakan akan menjadi du-nung (terarah dan masuk akal, sesuai dengan kenyataan dan kemampuan pribadinya). Bila tindakan yang dijalani terarah dan benar, maka me-nang (sukses) akan menjadi hasil akhirnya.
3. Perilaku manusia yang terjelma karena adanya empat hasrat yaitu: Mutmainah, Amanah, Lauwamah, dan Supiah. Manusia selalu dikelilingi oleh empat hasrat ini (Kushardjanti, 2008 : 8)
Paparan di atas sebagai gambaran bahwa ternyata pemaknaan filosofi Jawa bukan sekedar pemaknaan yang dibuat-buat tetapi terbukti bisa sejalan atau tidak bertentangan dengan kajian semiotika. Tidak menutup kemungkinan jika filosofi Jawa yang lainnya bisa disandingkan dengan kajian semiotika dalam rangka pengungkapan pesan yang ada. Hal ini tidaklah mengherankan karena salah satu tokoh semiotika Pierce sendiri juga melandaskan teori-teorinya berdasarkan ilmu filsafat. Penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. (Tinarbuko, 2008 : 12) Manusia Jawa tidak memaknai motif kawung tanpa kajian tanda-tanda visual yang ada.