Thursday, June 10, 2010

Kajian Semiotika & Filsofi Jawa pada Gelang Perak Kawung

------------------------------------------------------------------------------


Penciptaan sebuah karya seni adalah suatu cara bagi seorang seniman untuk mengekspresikan gagasan seninya. Ekspresi seni ini adalah sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh seorang seniman kepada penikmat seni dengan media perantara karya seni yang diciptakannya. Hal yang sama juga terjadi dalam presentasi sebuah karya perhiasan yang berwujud sebuah gelang perak di bawah ini.


Motif hiasan yang terdapat pada gelang tersebut adalah sebuah motif batik pedalaman yaitu motif kawung. Selain motif batik kawung juga terdapat tekstur titik-titik yang menyerupai taburan pasir yang tidak beraturan. Pada bagian ujung gelang (lihat gambar 3) terdapat hiasan bulu ayam yang merupakan komposisi garis beraturan yang mengalami repetisi. Bagian tengah gelang terdapat sebuah batu yang dikelilingi butiran-butiran perak.


Menurut kajian semiotika, dalam karya gelang perak tersebut terdapat ikon dan simbol. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya (Budiman, 2003 : 29). Ikon ini terdapat pada komposisi garis lengkung yang mengalami repetisi yang sudah disepakati sebagai sebuah motif batik yang disebut kawung. Pemberian nama motif batik itu sendiri juga merupakan sebuah simbol yang diletakkan pada gelang tersebut. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi (Tinarbuko, 2008 : 14) Semua orang Jawa pada umumnya sudah sepakat bahwa motif tersebut dinamakan motif kawung yang mana ini sudah menjadi simbol karena sudah terdapat konvensi di lingkungan orang Jawa.

Elemen hias yang teradapat pada gelang perak juga memiliki beberapa kode, di antaranya adalah kode konotasi dan juga kode narasi. Kode konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu (Budiman, 2003 : 56). Kode narasi adalah kode yang mengandung cerita (Tinarbuko, 2008 : 47) Motif hiasan pada gelang perak yang berwujud komposisi garis lurus repetitif pada motif hiasan bulu ayam mempunyai kode konotasi keteraturan. Hal yang sama juga berlaku pada komposisi garis lengkung repetitif yang membentuk hiasan motif kawung yang juga mempunyai kode konotasi keteraturan. Keteraturan ini juga ditemukan pada hiasan butiran perak yang mengelilingi batu Onyx warna hitam di mana hiasan sentral ini mempunyai kode konotasi keteguhan dan kekuatan yang solid. Secara umum kumpulan hiasan yang terdapat pada karya gelang perak tersebut menjadi sebuah kode narasi yang menceritakan keteraturan (hiasan bulu ayam), ketidak teraturan (taburan butir-butir pasir), keteraturan lagi (hiasan motif batik kawung dan butiran perak yang mengelilingi batu Onyx) di mana hal ini selalu terjadi dalam hidup manusia. Dinamika hidup manusia ini bisa dijalani dengan baik jika manusia mempunyai keteguhan hati dan kekuatan yang solid dalam menjalani hidupnya.

Kajian semiotika di atas ternyata secara garis besar sesuai dengan filosofi Jawa yang dikandung oleh motif batik kawung. Menurut konsep orang Jawa motif batik kawung adalah simbolisasi dari konsep “Pancapat”. Hal ini secara visual didasari oleh bentuk perpotongan yang selalu berjumlah empat dengan bentuk yang sama dan satu bentuk kelima dengan bentuk yang lain yang berada di tengah sebagai pusat atau inti. Pancapat mempunyai penjelasan yang sangat luas karena selalu terdapat dalam kehidupan manusia. Beberapa paparan dalam konsep Pancapat di antaranya:

1. Catur Ubhaya (empat ikrar menjalani kehidupan). Suatu kearifan tradisional bahwa semua manusia yang dititahkan lahir sebagai makhluk hidup, pada umumnya akan sanggup menjalani empat ikrar, yaitu: lahir, birahi, palakrama (pernikahan) dan pralaya (kematian). Bentuk yang kelima di tengah adalah perlambang dari manusia itu sendiri.

2. Catatan kearifan tradisional dalam menghadapi emosi yang bergejolak. Empat macam bunyi (tertulis) pada bandul kalung punakawan dalam pewayangan yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong yang bila digoyang akan berbunyi “neng-ning-nung-nang “
Artinya, bila emosi manusia sedang bergolak, langkah manusia untuk mengatasinya ialah me-neng (diam), karena dalam keadaan diam akan timbul keheningan sehingga pikiranmenjadi we-ning (bening). Bila pikiran telah menjadi bening, maka arah tindakan akan menjadi du-nung (terarah dan masuk akal, sesuai dengan kenyataan dan kemampuan pribadinya). Bila tindakan yang dijalani terarah dan benar, maka me-nang (sukses) akan menjadi hasil akhirnya.

3. Perilaku manusia yang terjelma karena adanya empat hasrat yaitu: Mutmainah, Amanah, Lauwamah, dan Supiah. Manusia selalu dikelilingi oleh empat hasrat ini (Kushardjanti, 2008 : 8)

Paparan di atas sebagai gambaran bahwa ternyata pemaknaan filosofi Jawa bukan sekedar pemaknaan yang dibuat-buat tetapi terbukti bisa sejalan atau tidak bertentangan dengan kajian semiotika. Tidak menutup kemungkinan jika filosofi Jawa yang lainnya bisa disandingkan dengan kajian semiotika dalam rangka pengungkapan pesan yang ada. Hal ini tidaklah mengherankan karena salah satu tokoh semiotika Pierce sendiri juga melandaskan teori-teorinya berdasarkan ilmu filsafat. Penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. (Tinarbuko, 2008 : 12) Manusia Jawa tidak memaknai motif kawung tanpa kajian tanda-tanda visual yang ada.

Hubungan Keindahan dengan Seni

Keindahan selalu berhubungan dengan seni tetapi seni tidak selalu hanya menampilkan tentang keindahan walaupun dalam prosesnya ada tahap-tahap yang bisa disebut sebuah keindahan. Seorang seniman kadang tidak bisa menyampaikan hasil karya yang indah tetapi dalam pembuatan karya seni selalu ada pesan yang ingin dia sampaikan dan dalam proses pembuatan karya seninya mungkin dia sudah melewati pengalaman keindahan. Sebagai contoh dia membuat karya seni dengan pesan “betapa sedihnya perpisahan karena kematian”. Di sini kita sepakat bahwa perpisahan karena kematian bukanlah sesuatu yang indah, tetapi dengan tehnik dan kemampuan pengelolaan pengalaman hidupnya maka dia bisa membuat atau menyampaikan pesan itu menjadi sesuatu yang indah karena dia mampu mengelola pengalaman yang sudah dia lalui. Jadi intinya dalam seni harus ada suatu keindahan meskipun tidak semua keindahan bisa dikatakan seni.

1. Tanpa mengesampingkan teori seni yang lain karena menurut penulis teori-teori seni saling melengkapai tetapi teori seni yang paling memuaskan adalah “teori pengungkapan”.

Benedetto Groce dengan teorinya yang mengatakan bahwa Seni adalah pengungkapan dari kesan-kesan. Ekspresi sama dengan intuisi, dan intuisi menghasilkan imaji-imaji dari realitas. Karena mengungkapan sama dengan memiliki imaji, maka intuisi menjadi suatu unitas yang tanpa membedakan antara persepsi dari realitas dan persepsi dari image.

Dari teori ini pertama sudah menjelaskan bahwa sebelum terjadi proses penciptaan karya seni maka harus didahului dulu dengan adanya tahap pengalaman keindahan. Tanpa tahap ini tidak akan ada kesan-kesan yang nanti dalam proses selanjutnya harus diungkapkan dengan baik. Proses pengungkapan ini terkadang mengesampingkan pengtahuan konseptual tetapi cenderung dipengaruhi pengetahuan imajinasi/intuitif. Sehingga dengan kata seni lebih besar dipengaruhi oleh kejiwaan manusia.

Teori kedua dari Leo Tolstoy yang mengatakan seni adalah kegiatan manusia yang sadar dengan perantara dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu mengungkakan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain agar terjangkit perasaan-perasaaan itu dan juga mengalaminya.

Di sini jelas diungkapkan bahwa kegiatan manusia harus dilakukan secara sadar karena tidak mungkin seseorang yang tidak mampu menguasai dengan baik kesadarannya bisa mengelola pengalaman keindahannya menjadi suatu ungkapan seni. Dengan kesadaran yang baik pula seseorang bisa menemukan/memutuskan tanda-tanda seperti apa yang harus dipakai untuk mengungkapakan pengalaman yang telah dihayatinya agar orang lain bisa mendapatkan pengalaman keindahan yang sama ketika menikmati tanda-tanda tersebut.
Dari kedua filsuf ini yang semua teorinya mengacu pada pengungkapan sudah bisa memenuhi kaidah-kaidah yang ada dalam seni meskipun perlu digaris bawahi bahwa tidak semua hasil pengungkapan adalah seni. Selain itu teori ini bisa mengakomodir kaidah-kaidah seni dibandingkan dengan teori yang lain, bahkan teori ini bisa mencakup juga perspektif bahwa seni adalah mimesis (Plato).

Mengapa orang menciptakan karya seni ?

Apa yang ingin ‘diperjuangkan’ oleh seniman.

Ada 2 sudut pandang tentang mengapa orang menciptakan karya seni. Yang pertama penciptaan karya seni ini adalah suatu usaha seniman untuk memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan dalam hidupnya. Keindahan yang dapat dinimati secara visual dengan indera penglihatannya dan keindahan yang dapat dinikmati dengan indera pendengarannya. Pemenuhan kebutuhan akan keindahan ini harus dibuat karena terkadang keindahan yang tercipta secara alami tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia ataupun tidak bisa setiap saat dinikmati oleh manusia. Untuk itu diperlukan suatu hasil karya seni agar dapat dinikmati ataupun dapat memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan ini. Penjelasan ini secara tidak langsung menyampaikan bahwa seni adalah sebagai alat untuk untuk pemenuhan suatu kebutuhan manusia.

Sedangkan penjelasan di bawah lebih cenderung mengartikan bahwa seni adalah untuk seni. Seni tidak bisa dipengaruhi oleh factor eksternal seniman. Penciptaan karya seni adalah sebagai media untuk menyalurkan ekspresinya akan pengalaman hidupnya. Pengalaman hidup yang sudah dapat dikelola dengan baik oleh seorang seniman bisa direpresentasikan dalam sebuah karya seni.

Yang ingin diperjuangkan seniman dalam penciptaan karya seni juga lebih cenderung kepada perspektif yang kedua dari jawaban di atas. Yaitu bahwa seniman perlu mewujudkan pengalaman keindahan yang telah dialaminya dan juga pengalaman keindahan yang sudah mampu dia kelola dengan baik sehingga bisa dikeluarkan dan diwujudkan dalam suatu hasil karya seni. Pengungkapan pengalaman ini bukan hanya pengungkapaan tentang keindahan tetapi juga tentang kebenaran yang telah diyakininya. Kebenaran yang harus diungkapkan kepada orang lain ataupun pengungkapan ini hanyalah kebutuhan dia pribadi sebagai individu tanpa memperdulikan opini public.